Bandung, bertanya.id — Pasar Baru Bandung bukan sekadar tempat berjualan; ia menjadi medan pertempuran kepentingan politik dan ekonomi. Dari Aa Tarmana, Dada Rosada, hingga Ridwan Kamil, setiap wali kota meninggalkan jejak yang tak selalu mulus, bahkan menyisakan kontroversi yang membekas di pasar legendaris ini.
Aa Tarmana (1998–2003) dikenal dekat dengan pedagang kecil. Ia menyediakan tenda agar pedagang tetap bisa berjualan tertib, menunjukkan kepedulian nyata pada rakyat. Namun, sejarah mencatat bahwa niat baik bisa terkubur oleh ambisi politik berikutnya.
Dada Rosada (2003–2013) melanjutkan pembangunan fisik kota, tapi namanya ternoda oleh kasus suap bantuan sosial yang menjerat dana publik. “Orang yang tamak dan berniat jelek terhadap Pasar Baru biasanya berakhir tragis,” ujar Iwan Suhermawan, pengamat senior pasar Kota Bandung, menegaskan bahwa Pasar Baru selalu menjadi cermin karakter para penguasa.
Ridwan Kamil (2013–2018) membawa Bandung ke era Smart City dan kreativitas, namun modernisasi pasar tradisional menuai kritik tajam. Banyak pihak menilai langkahnya terlalu ambisius dan tak memperhatikan kondisi pedagang kecil. Iwan menyebut, “RK punya visi, tapi situasinya belum memungkinkan. Kalau penataan dilakukan asal-asalan, pedagang dan sejarah pasar bisa jadi korban.”
Para pengamat menekankan: modernisasi pasar harus hati-hati, melibatkan semua pihak, dan tetap menjaga identitas tradisional. Beberapa strategi penting:
Revitalisasi Infrastruktur: Perbaikan fasilitas pasar tanpa menghilangkan karakter khasnya.
Digitalisasi: Sistem pembayaran digital dan promosi online, tapi jangan sampai pedagang kecil tersisih.
Pengembangan Produk Lokal dan UMKM: Agar ekonomi rakyat tetap hidup, bukan hanya untuk kepentingan investor besar.
Pelatihan Pedagang: Manajemen dan pemasaran agar pedagang lebih kompetitif tanpa kehilangan akar tradisi.
Event Kreatif: Menarik pengunjung tanpa mengubah budaya pasar.
Pasar Beringharjo, Yogyakarta, menjadi contoh sukses: tetap tradisional tapi modern dan tertata rapi.
Iwan menegaskan, “Pasar Baru selalu menjadi medan ujian bagi ambisi politik dan kepentingan pribadi. Siapa pun yang bermain-main dengan tamak atau niat buruk, sejarah menunjukkan hasilnya tragis.”
Kini, calon Dirut Perumda Pasar Juara menghadapi tantangan berat: menyeimbangkan modernisasi dan kepentingan politik, menjaga pedagang kecil, sekaligus mempertahankan ciri khas pasar. Open bidding bukan sekadar prosedur, tetapi ujian integritas: apakah Pasar Baru akan selamat dari ambisi yang merusak, atau menjadi korban drama politik berikutnya?
“Semoga open bidding berjalan adil dan menghasilkan Dirut yang berpihak pada pedagang serta masyarakat, bukan kepentingan pihak tertentu,” harap Iwan Suhermawan.***
PENGAMAT KEBIJAKAN PUBLIK DAN POLITIK.
R. WEMPY SYAMKARYA.S.H.M.M.