zmedia

Ruang Rindu Bandung Mengenang Wiladah Sayyidah Fāṭimah Az-Zahrā.


Bandung, bertanya.id - Bandung, 14 Desember 2025 — Siang itu, Aula KH. Jalaluddin Rakhmat tidak lagi sekadar bangunan dengan dinding dan kursi. Ia berubah menjadi ruang rindu. Rindu kepada Rasulullah ﷺ, rindu kepada keluarga sucinya, dan rindu kepada sosok perempuan agung yang namanya selalu disebut dengan getar suara dan basah air mata: Sayyidah Fāṭimah Az-Zahrā’ SA.

Sejak pukul 12.30 WIB, langkah-langkah jamaah mengalir perlahan memasuki aula di Jalan Kampus II No. 13, Kiaracondong, Kota Bandung. Wajah-wajah yang datang memancarkan takzim dan harap. Mereka hadir dengan satu niat yang sama: mengenang wiladah putri tercinta Nabi ﷺ, dalam peringatan yang bukan sekadar seremoni, melainkan perjumpaan batin dengan Ahlul Bait.
Getaran ayat-ayat suci Al-Qur’an membuka acara. Saritilawah mengalun lembut, menembus sekat-sekat kesibukan dunia. Satu per satu hati terasa disentuh. Tak lama kemudian, shalawat menggema—bukan sekadar lantunan, tetapi pengakuan cinta. Puisi dan narasi reflektif hadir sebagai cermin, mengingatkan jamaah pada kesucian, kesabaran, dan pengorbanan Sayyidah Fāṭimah SA, perempuan yang hidupnya adalah doa panjang bagi umat.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Karena kita berkumpul dalam acara penuh berkah, mengenang wiladah Sayyidah Fāṭimah Az-Zahrā’ SA…”
Kalimat pembuka dari pembawa acara itu terdengar bergetar. Ia disambut shalawat Thola‘al Badru ‘Alainā yang dilantunkan bersama. Pada momen itu, banyak kepala tertunduk, banyak mata yang basah. Seolah Madinah hadir di Bandung. Seolah Rasulullah ﷺ begitu dekat, berdiri di tengah-tengah jamaah.
Puncak peringatan diisi tausiyah oleh K.H. Miftah Fauzi Rakhmat, I, c., MA. Dengan nada yang teduh namun menghunjam ke relung jiwa, beliau menegaskan bahwa Sayyidah Fāṭimah SA bukan sekadar nama dalam lembar sejarah, melainkan cahaya hidup yang terus membimbing umat di setiap zaman.

Satu demi satu gelar mulia beliau diuraikan—bukan untuk sekadar dihafal, tetapi untuk diresapi.
Az-Zahrā’, cahaya yang menerangi langit dan bumi.
Al-Batūl, kesucian yang tak tercemar hiruk-pikuk dunia.
Ummu Abīhā, putri yang menjadi sandaran bagi ayahnya, penguat luka dan lelah Rasulullah ﷺ.
Sayyidatu Nisā’il ‘Ālamīn, pemimpin seluruh perempuan alam semesta.
Disusul As-Shiddīqah, Ath-Thāhirah, Al-Mubārakah, dan Al-Mardhiyyah—gelar-gelar yang memantulkan kejujuran, kesucian, keberkahan, serta keridaan Allah SWT.

Hening semakin dalam ketika disampaikan sabda Rasulullah ﷺ yang mengguncang hati:
“Fāṭimah bidh‘atun minnī.”
Fāṭimah adalah bagian dariku.

Bukan sekadar ungkapan cinta seorang ayah, melainkan penegasan dari langit. Bahwa Fāṭimah SA menyatu dengan jiwa Nabi ﷺ, dengan risalah Islam itu sendiri. Mencintainya berarti mencintai Rasulullah ﷺ. Menyakiti hatinya berarti melukai hati Nabi ﷺ. Kalimat itu menggantung di udara—berat, dalam, dan menggetarkan.

Rangkaian acara ditutup dengan doa ziarah. Tangan-tangan terangkat, bibir bergetar menyebut nama Ahlul Bait. Doa dipanjatkan agar cinta ini tidak berhenti pada air mata, tetapi menjelma menjadi akhlak, kesabaran, dan keberanian dalam kehidupan sehari-hari.

Di akhir acara, doorprize dibagikan. Bukan sekadar hadiah, melainkan simbol kehangatan dan kebersamaan yang terjalin di bawah cahaya nama Fāṭimah.

Peringatan Wiladah Sayyidah Fāṭimah Az-Zahrā’ SA itu meninggalkan jejak yang dalam di hati para jamaah. Di tengah dunia yang kian bising dan melelahkan, Fāṭimah hadir sebagai cahaya sunyi—menuntun umat, khususnya kaum perempuan, menuju kehidupan yang diridhai Allah SWT. (Hyt)