Keputusan strategis ini tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 177/PUR.06.02.03/DISPERKIM tertanggal 6 Desember 2025. Sebuah dokumen yang menandai titik balik: ketika pembangunan diminta berhenti sejenak, agar alam diberi kesempatan bernapas.
Langkah tersebut lahir dari rentetan bencana yang melanda Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Sumedang, hingga Kota Bandung. Banjir dan longsor bukan lagi sekadar peristiwa musiman, melainkan alarm keras tentang rapuhnya keseimbangan ekologis Bandung Raya.
Melalui unggahan Instagram pribadinya @dedimulyadi71, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi—akrab disapa KDM—menyampaikan pesan tegas sekaligus getir. Menurutnya, tanpa keberanian mengembalikan fungsi ruang hijau, rawa, dan ruang terbuka, masa depan Bandung Raya berada di ujung tanduk.
“Kalau kita tidak mengembalikan fungsi ruang hijau, rawa, dan ruang terbuka, saya jamin 2 hingga 3 tahun ke depan kalau hujan melanda, Bandung Raya akan tenggelam,” ujar Dedi.
Ia membeberkan akar persoalan banjir yang selama ini terabaikan: kawasan hulu yang berubah menjadi kebun sayur tanpa kendali, sedimentasi sungai yang kian menebal, serta aliran air yang menyempit akibat bangunan liar. Bagi KDM, solusi banjir tak cukup dengan pompa, karung pasir, atau pengerukan darurat. Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pandang birokrasi dan keberanian menata ruang sesuai hukum alam.
Melalui surat edaran tersebut, seluruh pemerintah kabupaten/kota diminta menghentikan sementara penerbitan izin perumahan hingga kajian risiko bencana selesai dan rencana tata ruang disesuaikan. Lokasi pembangunan di kawasan rawan bencana wajib ditinjau ulang, dengan penekanan pada daya dukung lingkungan dan standar teknis konstruksi.
Setiap pembangunan ke depan juga diwajibkan memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), menjalani penilikan teknis, serta melakukan pemulihan lingkungan—mulai dari penghijauan hingga perbaikan lahan terdampak. Tak berhenti di situ, pemerintah daerah juga diminta menjamin penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung di kawasan permukiman.
KDM menegaskan, kebijakan ini bukan untuk mematikan pembangunan, melainkan mencegah lahan-lahan potensial dikuasai tanpa kendali dan kehilangan fungsi ekologisnya. Bagi wilayah seperti Kota Cimahi yang kerap menjadi “korban kiriman air” dari hulu, kebijakan ini dinilai krusial untuk menekan risiko banjir di masa depan.
Bandung Raya kini berada di persimpangan: terus membangun tanpa jeda, atau berhenti sejenak untuk menyelamatkan ruang hidup. Pemprov Jabar memilih opsi kedua—memberi waktu bagi alam untuk pulih, sebelum semuanya benar-benar tenggelam.(*)