zmedia

Banjir Dayeuhkolot–Baleendah: Saat Infrastruktur Menyerah dan Warga Membayar Harga

Kab Bandung, bertanya.id - Banjir kali ini tidak hanya menyapu rumah dan jalan, tetapi meruntuhkan ilusi bahwa Dayeuhkolot–Baleendah telah siap menghadapi musim hujan. Ketika air naik, seluruh sendi kehidupan turun: pasar mati, transportasi mandek, dan fasilitas publik menyerah satu per satu. Jalan utama berubah menjadi kanal, kendaraan terjebak seperti rongsokan, dan toko-toko menutup pintunya, bukan karena hari libur, melainkan karena air menjadi penguasa.

Di pemukiman padat, air setinggi 1 meter bukan sekadar angka—ia berarti dapur berhenti berfungsi, sekolah berubah jadi tempat tidur darurat, dan warga merayap dari satu titik kering ke titik lainnya. Pertanyaan sederhana seperti “bagaimana anak-anak pergi sekolah” berubah menjadi “di mana anak-anak bisa tidur malam ini”.

Laporan BPBD Kabupaten Bandung menegaskannya: genangan menjalar ke 12 kecamatan dan belasan desa, menandai banjir sebagai fenomena sistemik, bukan kecelakaan cuaca sesaat. Pola penyebarannya menunjukkan kelemahan struktur pengendalian air, dan ketidakmampuan pemerintah daerah menciptakan sistem adaptif yang tangguh. Banjir tidak lagi datang dan pergi; ia bertahan, menyandera ruang dan waktu.

Dampak sosial–ekonomi pun menyebar lebih cepat daripada air. Ribuan KK kehilangan pendapatan dalam hitungan jam. Pedagang kecil yang hidup dari omset harian dipaksa menatap tong-tong air, bukan tumpukan pelanggan. Pekerja informal yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi warga, kini menjadi penyintas tanpa payung perlindungan. Banjir tidak hanya menutup toko; ia menutup peluang hidup.

Ironi paling pahit adalah fakta bahwa warga yang paling menderita adalah warga yang paling sering terlupakan. Mereka yang tinggal di bantaran sungai, menunggu “banjir berikutnya” seperti kalender kematian yang dapat diprediksi, tanpa pernah mendengar kapan relokasi dijalankan. Dalam diskusi meja rapat, relokasi disebut “solusi strategis”; di lapangan, ia hanyalah rumor yang tak kunjung menjadi kebijakan.

Sementara itu, kebutuhan dasar berubah menjadi kemewahan. Air bersih, layanan kesehatan, dan tempat evakuasi bukan sekadar daftar kebutuhan, tetapi soal pertaruhan hidup. Tanpa itu, banjir tidak hanya menenggelamkan rumah, tetapi juga martabat.

Krisis ini membuka tabir rapuhnya tata kelola. Dayeuhkolot–Baleendah menjadi contoh telanjang betapa urbanisasi tanpa pengendali, pembangunan tanpa perencanaan ekologis, dan ketergantungan pada respons sementara menciptakan “bencana berulang”. Data, peringatan dini, dan anggaran ternyata tidak cukup ketika keputusan politik takut mengusik kenyamanan status quo.

Namun yang paling mengerikan bukan ketinggian air—tetapi kepastian bahwa tragedi ini akan berulang. Karena selama banjir dipandang sebagai musibah alam, bukan indikasi kegagalan sistem, maka musim hujan berikutnya tinggal menunggu giliran untuk kembali menagih.

Di Dayeuhkolot–Baleendah, air datang setiap tahun dengan pola yang sama. Yang tidak berubah hanyalah pemerintah—yang setiap kali datang dengan jawaban telat, dana terbatas, dan janji panjang tanpa tanggal. Sementara itu, warga kembali menyiapkan tas darurat, bukan karena panik, tetapi karena tahu: kota ini belum dibangun untuk menyelamatkan mereka.

Solusi:
*Sensor otomatis yang mengirim peringatan langsung ke HP warga, bukan ke rapat koordinasi
*Informasi risiko per RW, dipublikasikan secara mingguan selama musim hujan
*SOP evakuasi yang dipraktikkan dalam simulasi rutin, bukan saat genangan sudah naik
*Warga tidak butuh grafik—mereka butuh instruksi.
Kesimpulan: Kota Ini Tidak Kekurangan Alat, Tapi Keberanian
Investigasi lapangan mengungkap bahwa solusi teknis sebenarnya sudah diketahui: kolam retensi, relokasi, peringatan dini, proteksi ekonomi. Yang hilang bukan pengetahuan, tetapi komitmen untuk melakukan hal yang tidak populer: membongkar tata ruang yang membahayakan, menata ulang ekonomi lokal, dan memindahkan warga miskin ke tempat yang aman dan produktif.

Selama pemerintah terus menambal banjir dengan bantuan darurat, bukan rekonstruksi struktural, Dayeuhkolot–Baleendah akan tetap menjadi panggung tragedi yang berulang—di mana korban datang dari kelompok yang sama, sementara kebijakan datang terlambat, setiap kali.

Kota ini tidak perlu menunggu musibah berikutnya untuk berubah.
Yang perlu ditunggu hanyalah satu

keputusan:
berhenti menyelamatkan hari ini, dan mulai membangun masa depan.(*)