Bandung, bertanya.id - Siapa sangka, sebuah gerobak mie tektek di sudut Jalan Ciwastra justru menjadi pintu masuk bagi seorang jurnalis untuk menemukan cerita besar yang tak pernah tercatat di meja redaksi mana pun. Bukan soal kriminal, bukan pula skandal politik—melainkan kisah tentang ketangguhan, kreativitas, dan jaringan sosial kecil yang diam-diam menghidupkan satu kawasan kota.
Semua bermula ketika seorang jurnalis muda dari sebuah media lokal singgah untuk membeli mie tektek selepas liputan malam, Kamis (16/11). Alih-alih sekadar menyantap kuliner jalanan, ia mendapati percakapan para pelanggan yang menyiratkan sebuah fenomena menarik—bahwa gerobak sederhana ini telah menjadi “pusat informasi warga”.
Warung Roda Dua yang Menyatukan Banyak Cerita
Pemiliknya, Mang Hidayat (45), bukan hanya dikenal sebagai peracik mie tektek dengan cita rasa khas tumis arang, tetapi sebagai pendengar yang sabar bagi para tukang ojek, mahasiswa perantau, pedagang kecil, hingga petugas malam. Berbagai persoalan lingkungan, kabar kerja, hingga isu pembangunan wilayah sering kali bermula dari obrolan ringan di depan penggorengannya.
“Kadang orang curhat soal listrik mati, banjir kecil, atau jalan rusak. Besoknya ada saja yang datang bawa info baru. Jadi kaya pos ronda versi kuliner,” ujar Mang Hidayat sambil tertawa.
Benang Merah Masalah Kota Terkuak dari Obrolan Mang Hidayat
Dari gerobak ini, sang jurnalis justru menemukan pola: warga Ciwastra punya keluhan yang sama tentang penerangan jalan rusak dan saluran air tersumbat di beberapa titik. Semua muncul dari cerita lepas para pelanggan yang tidak saling mengenal, namun rutin mampir setiap malam.
Kumpulan cerita kecil ini akhirnya membuka peta persoalan lingkungan yang selama ini luput dari laporan resmi. Sang jurnalis pun menelusuri sumber-sumber lain dan menemukan bahwa sebagian keluhan warga memang belum tertangani, terutama di kawasan permukiman padat.
Bau Mie Tektek, Aroma Harapan
Yang membuat cerita ini unik bukan hanya rasa mie tekteknya yang membuat pelanggan kembali, tetapi cara Mang Hidayat menjadi simpul komunitas tanpa ia sadari. Gerobak kecil itu menyajikan lebih dari makanan—ia menghadirkan ruang aman, hangat, dan setara bagi siapa pun.
“Kalau lapar datang makan. Kalau nggak punya uang pun bilang saja, nanti kapan-kapan bayar,” kata Mang Hidayat. Filosofi sederhana itu membuat gerobaknya menjadi habitat kepercayaan sosial.
Dari Gerobak ke Halaman Utama
Ketika cerita ini terbit, banyak warga yang baru menyadari bahwa tempat yang sering mereka lewati ternyata memegang peran sosial penting. Tak sedikit pula yang kemudian mengirim laporan lanjutan mengenai kondisi lingkungan sekitar.
Bagi sang jurnalis, ini menjadi pengingat bahwa kisah besar tidak selalu ditemukan di gedung-gedung tinggi atau ruang konferensi pers—melainkan bisa bersembunyi di balik gemerisik api kompor, denting wajan, dan aroma bawang putih yang mengepul dari sebuah gerobak mie tektek.(Hyt)