Kab Bandung, bertanya.id - Tragedi longsor Arjasari sepatutnya menjadi pintu evaluasi serius. Pemerintah daerah tidak dapat terus mengandalkan prosedur darurat yang sama setiap musim hujan. Ada empat rekomendasi kebijakan mendesak yang perlu diadopsi:
1. Relokasi Permanen Berbasis Ekonomi Warga
Relokasi tanpa solusi ekonomi hanya memindahkan kerentanan dari satu tempat ke tempat lain.
Pemerintah perlu menyediakan:
rumah pengganti yang layak
akses lahan usaha
program kerja transisi
Tanpa itu, warga akan kembali ke lereng bukit, bukan karena tidak paham risiko, tetapi karena tidak punya pilihan.
2. Sistem Peringatan Dini yang Real-Time dan Adaptif
Wilayah perbukitan memerlukan sensor hidrometeorologi, alat peringatan berbasis sirine, serta jaringan komunikasi seluler darurat.
Bukan sekadar aplikasi WA grup atau laporan manual yang sering terlambat.
3. Penegakan Tata Ruang Tanpa Kompromi Politik
Setiap izin pembangunan di zona merah harus dihentikan.
Terlalu sering, kepentingan politis dan ekonomi mengalahkan logika keselamatan publik.
Peta risiko bukan dokumen arsip — ia harus menjadi dasar hukum pembangunan.
4. Unit Penyelamat Khusus untuk Operasi Malam
Ketiadaan pencahayaan dan peralatan membuat pencarian malam hari tak memungkinkan.
Padahal, jam pertama pasca-bencana adalah masa emas untuk menyelamatkan korban.
Pemerintah perlu membangun unit ---bencana dengan:
- kemampuan operasi malam
- alat pencahayaan portabel
- detektor kehidupan
- robot penyelamat ringan
Analisis Ahli Geologi: Longsor di Arjasari Bukan Kejadian Alamiah Semata
Sejumlah ahli geologi yang mengikuti perkembangan kasus ini sepakat bahwa longsor di Arjasari bukan hanya akibat hujan tinggi, tetapi kombinasi faktor struktural dan antropogenik.
1. Kemiringan Lereng dan Struktur Tanah
Struktur tanah di Arjasari didominasi material vulkanik muda dengan porositas tinggi.
Tanah ini cepat menyerap air, tapi kehilangan kohesi begitu jenuh.
Dalam kondisi ekstrem, ia berubah menjadi "massa cair" yang meluncur.
2. Pembukaan Lahan yang Agresif
Aktivitas pertanian di lereng mempercepat erosi, menghilangkan penahan alami.
Pohon besar diganti tanaman akar dangkal.
Lereng kehilangan “jangkar biologi.”
3. Curah Hujan Anomali
Musim hujan ekstrem mempercepat kejenuhan tanah dalam hitungan jam.
Namun, hujan hanya pemicu, bukan penyebab.
4. Tata Ruang Tidak Berbasis Geologi
Rumah dibangun di kaki lereng dengan sudut kemiringan tinggi.
Secara geoteknik, ini setara menempatkan komunitas di bawah tebing runtuh.
Ahli menyimpulkan:
Bencana ini bukan kejadian tak terduga, melainkan konsekuensi dari tata kelola ruang yang mengabaikan fakta geologi.
Kronologi Kunci Bencana Arjasari
Jumat, 5 Desember 2025
17.00 WIB: BPBD menerima laporan longsor dari warga Desa Wargaluyu
17.30 WIB: Tim BPBD Posko Baleendah bergerak ke lokasi
18.00 WIB: Kondisi lokasi gelap, akses terputus, tanah bergerak
18.30 WIB: Laporan awal menyebut tiga warga hilang, dua rumah rusak berat
19.00 WIB: Operasi evakuasi dinyatakan belum aman karena tanah labil
Malam hingga dini hari: Area disterilkan, pencarian dihentikan sementara
Sabtu, 6 Desember 2025
Pagi hari: 100 personel gabungan diterjunkan
08.00 WIB: Dua titik pencarian ditetapkan: pemukiman dan bantaran sungai
09.00 WIB: Alat berat tiba, namun pencarian tetap manual
10.00 WIB: Bupati Bandung meninjau lokasi, instruksi evakuasi warga rawan diterbitkan
Siang hari: Tenda darurat dan logistik mulai dipersiapkan
Hingga laporan ini disusun, ketiga korban belum ditemukan.
Akhir: Antara Harapan dan Pertanggungjawaban
Di Arjasari, bencana tidak hanya meruntuhkan rumah, tetapi juga membongkar rapuhnya sistem perlindungan warga.
Banjir bantuan, instruksi evakuasi, dan dukungan moral tentu penting.
Namun, tragedi ini menuntut lebih dari belas kasih:
Ia menuntut pertanggungjawaban kebijakan.
Korban yang hilang menjadi simbol dari pertanyaan lebih besar:
berapa banyak nyawa harus melayang sebelum risiko diakui sebagai urgensi — bukan angka statistik?
Jika Arjasari hanya menjadi berita, tanpa menjadi pelajaran, maka longsor berikutnya bukan kemungkinan — melainkan kepastian.
(*)